PELAWANGAN AGUNG PURA BESAKIH


PURA LAWANGAN AGUNG BESAKIH DI BATUSESA

2.1
Pengertian Pura Lawangan Agung

Dari perspektif historis diakronik terminologi Pura yang berarti sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali,berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Secara harfiah istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng dimana kini mengalami perluasan makna dan diartikan menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Pada masa lampau sebelum kata pura dipergunakan untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipakailah kata Kahyangan atau Hyang. Hal ini dapat diketahui dari kajian-kajian epigrafis salah satunya dari Prasasti Sukawana AI yang merupakan data tertua yang kita temui di Bali yang memuat tentang istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan tempat suci pada masa itu,dimana di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. disebutkan bahwa kata Hyang juga berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Pada prasasti yang berangka tahun lebih muda yakni prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan pula kalimat “Sanghyang di Turunyan yang artinya tempat suci di Turunyan" Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Perkembangannya secara linguistic hingga dewasa ini kata Parhyangan/kahyangan masih dianggap bersinonim dengan kata Pura.Tipologi dari Prasasti yang menggunakan kata Hyang untuk menunjukkan tempat suci seperti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna dapat diklasifikasikan sebagai " Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.
Istilah Pura sendiri diperkirakan masuk ke bali sekitar abad ke 10 Masehi dalam waktu yang bersamaan dengan masuknya bahasa Jawa Kuna ke Bali. Proses adopsi istilah-istilah yang berbau Jawa Kuna di Bali disebabkan oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dharma Udayana. Semenjak perkawinan tersebut prasasti – prasasti di Bali yang dahulunya menggunakan bahasa Bali Kuna beralih memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna,bahkan ada pula trasformasi kesusastraan-kesusastraan Jawa ke Bali. Pada masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Mpu Kuturan lalu mencetuskan konsepsi tentang tempat pemujaan yang ditata dalam beberapa bagian yang disebut Parhyangan atau Kahyangan Dewa di Bali, mengadopsi cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali,terutama dalam kehidupan religious spiritual masyarakat Bali.
Dalam implementasinya secara nyata konsep Mpu Kuturan menjelma menjadi Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa palinggih meru beliau adopsi dari bangunan pagoda dalam agama Buddha. Hanya saja fungsi meru di Bali tidak seperti pagoda dalam agama Buddha,meru lebih disimbolisasikan sebagai medium pemujaan terutama kepada Hyang Pasupati yang bersemayam di Gunung Mahameru. Tingkat (tumpang) meru juga merupakan simbolisasi yang mengindikasikan pemujaan kepada ista Dewata tertentu Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.

Dalam periode Bali Kuna yakni sebelum berkuasanya dinasti Dalem di Bali, istana tempat tinggal raja beserta keluarganya disebut Keraton atau Kedaton. Dalam Lontar Usaha Bali disebutkan bahwa "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........" yang berarti Sri Danawa raja beristana di Balingkang. Secara epigrafik istilah pura memang telah ditemukan dalam prasasti di Bali tetapi pada awalnya kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya (Wiana,2009:3-4). Istilah pura belum dapat diartikan sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan bahkan setelah berabad-abad berada di Bali. Perkembangan aspek makna dari istilah pura hanya baru menyentuh pada suatu tempat yang didiami raja,belum menjangkau tempat bersemayamnya Tuhan. Para periode pemerintahan Sri Krsna Kapakisan di Bali,Beliau mengambil kebijakan untuk membawa berbagai tradisi yang berlaku di Majapahit untuk diberlakukan di Bali. Dasar hukum pengambilan kebijakan ini bersumber dari Kitab Nagarakertagama 73.3 yang menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semarapura.
Perkembangan istilah Pura yang mencitrakan suatu tempat suci untuk memuja Tuhan beserta manifestasinya baru dipergunakan setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Pada periode ini terjadi pergeseran makna orientasi dari istilah pura yang dulunya berkiblat kepada otoritas pemerintahan berganti menjadi indikasi spiritual keagamaan, kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri agar tidak memada-mada Ida bhatara (menyamai kedudukan Tuhan) . Dalam masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Pada periode tersebut beliau menyaksikan keadaan yang kacau dalam konsepsi keagamaan sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara fisik.

Kekacauan dan kekaburan ini ditemukan pula pada morfologi-morfologi gedong/ palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Kekaburan makna simbolis pada bangunan meru terutama terjadi pada aspek tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Kenyataan inilah yang akhirnya mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.

Menurut Warna Pura diartikan sebagai tempat suci Hindu Dharma. Titib dalam buku Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu (2000:89-91) menyatakan bahwa pura di Bali dipergunakan sebagai tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini umumnya disebut Padharman. Selanjutnya istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali,tampaknya berasal dari kata sansekerta yang berarti kota atau benteng hingga sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bhatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Hal ini menandakan keterbukaan masyarakat Bali untuk menerima budaya yang datang dari luar,dalam hal ini dalam bidang penyerapan kebahasaan tetapi tanpa menghilangkan istilah lokal yang telah mengakar. Sisa-sisa perkembangan linguistic ini masih dapat kita temukan hingga saat ini,misalnya masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura,Semarapura,Mangupura,Dsb.

Walaupun terminologi pura yang mendeskripsikan keberadaan tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Akar kebudayaan religious ini adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur (animisme) disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar (Dinamisme) yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Pada umumnya tempat pemujaan arwah leluhur pada masa prasejarah berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sisa kebudayaan ini masih kental di Bali yang menganggap arah kaja (utara/gunung) sebagai tempat yang utama. Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Keyakinan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian) Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata (roh leluhur yang telah disucikan). Dalam arsitektur pura adanya undak-undak/tangga ini selalu diadopsi,secara umum Pura Di Bali pada bagian pintu masuknya/pamedalnya terdapat anak tangga yang berundak-undak yang disinyalir merupakan kolaborasi antara bangunan suci pada masa Pra sejarah dengan konsep bangunan suci setelah masuknya Hindu. Karena adanya bentuk undak-undak dan meru yang merupakan simbolisasi Gunung ini menyebabkan Suhardana dalam bukunya Dasar-dasar Kepemangkuan mendefinisikan Pura sebagai duplikat Sorgaloka/Kahyangan yang diturunkan ke bumi berupa gunung-gunung suci. Sedangkan
Adapun secara hierarkis pura dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yakni :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.

Pada beberapa tempat di Bali ditemukan pula pura yang mempunyai fungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Kenyataan ini di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata) dan disebut bhatara.

Eksistensi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Dengan dilandasi ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya menurut Parisada Hindu Dharma Kota Denpasar,2001:47-49 adalah sebagai berikut:

A. Pura Umum

Sesuai namanya pura umum mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.

Ada pula pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.

Terdapat indikasi-indikasi bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tiga jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.

Pendirian pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

B. Pura Teritorial

Pura teritorial memiliki ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Teritori banjar sebagai sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Pertanda khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Pemberian Nama pada masing-masing kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Tipologi pura dalem sendiri juga beranekaragam. Tetapi Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra (Kuburan). Selain itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Contoh lainnya pada areal pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Disamping itu masih banyak Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

C. Pura Fungsional

Eksistensi tempat pemujaan ini memiliki karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Profesi sebagai petani dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Pada dimensi hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Jika petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperti tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.

Profesi sebagai pedagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melantin. Lumrahnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

D. Pura Kawitan

Pura kawitan mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Sebutan lain Pura ini adalah Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebih luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Sehingga Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .

Kawasan suci sebagai tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Member kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Pada sebagian daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .
Mengenai klasifikasi Pura di Bali ini, dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

Berdasarkan atas Fungsinya :

Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.

Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman

Berdasarkan atas Karakterisasinya:

Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala PrabhawaNya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.

Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.

Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .

Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenis.
Kata Lawangan sendiri berasal dari kata lawang yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pintu gerbang (W.J.S. Poerwadarminta,1976). Menurut kamus Bali-Indonesia kata lawang diartikan sebagai pintu atau kartu ceki yang sama. Sedangkan kata lawangan berarti pintu (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali,1990). Dalam perkembangannya di Bali ada istilah ngelawang yang berarti mempertunjukkan tari barong dari rumah ke rumah ataupun dari desa ke desa (dari pintu ke pintu ‘door to door).
Sedangkan Kata Agung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti besar,luhur,dan mulia (W.J.S Poerwadarminta,1976). Kamus Bali-Indonesia menafsirkan kata agung sebagai sesuatu yang besar atau mulia (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali,1990).
Dari beberapa kajian literal di atas dapat disimpulkan bahwa pura lawangan agung merupakan tempat suci tergolong ke dalam pura umum,pura jagat,atau kahyangan jagat karena keberadaannya berkaitan dengan Pura Penataran Agung Besakih dan mesti dipuja oleh semua umat Hindu,(Jaten,2010:22),sebagai tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Secara lebih spesifik Pura Lawangan Agung merupakan pintu gerbang untuk masuk ke dalam kawasan suci yang besar,luhur,dan mulia (sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa),di Bali kompleks pura terbesar terletak di Pura Besakih ‘The Mother of Temple’.
2.2 Sejarah dan Fungsi Pura Lawangan Agung
Menurut I Gusti Mangku Kubayan Manik Arjawa menyatakan bahwa berdirinya Pura Lawangan Agung ini diperkirakan sejalan dengan pendirian pura kahyangan jagat Besakih apabila ditinjau dari aspek periodisasi. Argument yang melatarbelakangi pandangan ini adalah pura Lawangan Agung memiliki keterkaitan dengan Pura kahyangan Jagat Besakih,yakni berfungsi sebagai lawangan/Pintu Ida Bhatara Bhatari yang bersthana di Pura Besakih. Apabila dilihat dari aspek angka tahun menurut I Gusti Mangku Kubayan Manik Arjawa Pura Lawangan Agung berdiri pada tahun Saka 835 (913 Masehi).
Gusti Mangku Kubayan Manik menyimpulkan tahun pendirian pura ini karena berpatokan pada beberapa sumber yang menyangkut berdirinya Pura Besakih. Diantaranya dalam buku yang berjudul Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Dati I Bali menjelaskan bahwa yang diperkirakan sebagai pendiri Pura Besakih adalah Resi Markandeya. Beliau datang ke Bali pada abad VIII dengan menanam Panca Datu di lereng Gunung Agung. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Rsi Markandeya merupakan salah satu keturunan Hyang Jagatnatha,leluhurnya bernama Sang Hyang Rsiwu, beliau seorang Mahayogi yang amat bijaksana mempunyai putra bergelar Sang Hyang Meru. Sang Hyang Meru mempunyai Putra Sang Ayati dan adiknya Sang Niata. Sang Ayati mempunyai putra bernama Sang Prana, dan Sang Niata mempunyai putra bernama Sang Markanda. Sang Markanda memperistri seorang gadis cantik dan sempurna bernama Dewi Manswini. Inilah yang melahirkan Maharsi Markandeya. Rsi Markandeya sangat tampan dan mempunyai banyak ilmu, Lama beliau membujang dan akhirnya memperistri Dewi Dumara. Dan mempunyai putra seorang bergelar Hyang rsi Dewa Sirah.Rsi Dewa sirah memperistri Dewi Wipari. Rsi Markadeya adalah titisan Dewa Surya yang berasal dari Negara Bharatawarsa (India). Beliau berkeinginan mengembangkan ajaran Yoga dan menuju daerah selatan India di bagian timur Nusantara dengan beberapa murid beliau yang telah siap turun gunung.

Perjalanan beliau pertama menuju Gunung Dumalung di Hyang yang disebut gunung Hyang atau Dewata. Namun disana sudah ada pertapaan Sang Ida putra Rsi Trenawindhu yang merupakan murid dari Sang Hyang Maharsi Agastya. Yang telah bertapa di tanah Jawa dan telah berbaur dengan Sapta Rsi di sana. Inilah yang menyebabkan Hyang Mahayogi Merkandeya pergi ke tempat lain yaitu Gunung Raung, Jawa timur. Disana beliau bertapa dan membangun pesraman,dan pada suatu hari Beliau mendengar Sabda Dari Akasa dan melihat sinar menjulang ke Akasa, Sabda didengar dari leluhur Beliau yakni Hyang Jagatnatha, dan Sabda itu memerintahkan Mahayogi Markandeya pergi ke arah timur yaitu Balipulina. Sebelah timur Tanah jawa, dan di Sabdalan itu karena di Bali Pulina ada Stana Para Dewa yaitu di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung).Yang pada saat itu disebut Giri Raja, Dalam Sabda beliau mendengar bahwa Gunung itu adalah potongan Gunung Maha Meru yang di bawa hyang Pasupati untuk memngunci Dunia saat itu. Akhirnya Mahayogi markandeya pergi kea rah Timur Bali sesuai sabda dengan pengikutnya 800 orang .Beliau berkehendak berdharmayatra menyebarkan ajaran ajaran Tri Sakti paksa, terutama Waisnawa Paksa segala aturan Tatacara upacara dan upakaranya.


Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Balidwipa, ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di emong warga desa pakraman. Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lambat laun komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih. Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.

Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali. Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.

Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.

Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro. Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).
Pada masa-masa selanjutnya pengembangan Pura Besakih dilakukan oleh para pendeta,orang-orang suci,dan raja-raja Bali (Dinas Kebudayaan Propinsi Dati I Bali,1987:5-7). Dengan dilandasi fakta historis ini maka kedatangan Rsi Markandeya juga berkaitan dengan berdirinya Pura Lawangan Agung yakni diperkirakan juga pada abad VIII. Paling tidak ide dan konsepsi pikir pendirian Pura Lawangan Agung sudah dimulai sejak abad VIII (Jaten,2010:52). Pura besakih merupakan salah satu pura yang paling krusial yang menandai perjalanan Rsi Markandeya di Bali dengan demikian Pura Lawangan Agung sebagai pintu gerbang Pura Besakih juga memiliki peran yang sama pentingnya.
Berdirinya Pura Besakih pada tahun Caka 835 (913M) yang juga diperkirakan sebagai tahun berdirinya Pura Lawangan Agung merupakan periode pemerintahan seorang raja Bali bernama Sri Kesari Warmadewa atau Sri Wira Dalem Kesari. Dimana pada waktu itu Raja mengeluarkan kebijakan untuk membangun sebuah tempat pemujaan di Besakih dan kini tempat pemujaan ini dikenal dengan nama Merajan Selonding (Dinas Kebudayaan Propinsi Dati I Bali,1987:7). Dalem Sri Kesari Warmadewa adalah pendiri Dinasti Warmadewa di Bali
Abhiseka Dalem Sri Kesari Warmadewa bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha yang dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari Sriwijaya(Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara( tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa Syailendra (dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.
Di Bali, Sri Ratu Ugrasena (915-942), raja kerajaan Singhamandawa (pusat istana di Sukawana, Penulisan, Bangli) yang berkaitan dengan kerajaan Kanuruhan dan Mataram(Sanjayawangsa) bersaing dengan Dalem Sri Kesari Warmadewa yang mulanya beristana di Bhumi Kahuripan Singhadwara (dekat Pura Besakih sekarang) kemudian memindahkan ibukota ke Pejeng. Di dalam Purana Bali Dwipa, diceritakan Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan raja Mayadanawa yang memerintah di Bali dimana pada masanya melarang upacara dewa yajna di Pura Kahyangan seluruh Bali. Oleh Dalem Sri Kesari, pura-pura yang rusak kemudian diperbaiki, setelah itu beliau mengadakan upacara yajna untuk memuja Tuhan dan menghormati para leluhur dilaksanakan pada hari Budha Kliwon Dunggulan yang kelak disebut hari Galungan atau hari kemenangan. Pulau Bali kembali menjadi aman dan makmur serta wilayah kekuasaan meliputi Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan.
Rupanya persaingan ini dimenangkan oleh dinasti Warmadewa, karena sejak tahun 942 tidak ada lagi prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Ratu Ugrasena. Dalem Sri Kesari Warmadewa menyatakan dirinya raja Adhipati yang berarti dia merupakan penguasa di Bali mewakili kekuasaan Sriwijaya. Kemungkinan beliau adalah keturunan dari Balaputradewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan nama dinasti Warmadewa. Berdasarkan prasasti Blanjong di Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring dan prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 9135, beliau berhasil mengalahkan musuh-musuhnya baik di luar pulau maupun di pedalaman Bali. Tapi kemenangan ini mungkin tidak menyeluruh karena di pedalaman wilayah kraton Singhamandawa masih berkuasa Sri Ratu Ugrasena hingga tahun 942.
Persaingan antara dua dinasti ini mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui perkawinan atau yang lain, karena setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena, yang menjadi raja di Bali adalah dari dinasti Warmadewa yaitu keturunan Dalem Sri Kesari, Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa(955-967), beliau juga bergelar Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa, memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada tahun 960. Semasa pemerintahannya beliau memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madatu, tempat dimakamnya Sang Ratu Ugrasena. Situasi seperti ini sangat mirip dengan situasi di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, dimana ada persaingan kekuasaan sekaligus kerjasama antara dua dinasti, Sanjaya dan Syailendra. Selanjutnya kekuasaan digantikan oleh putra beliau, Sri Jana Sadhu Warmadewa.
Sejarah pura Lawangan Agung tidak pula dapat dipisahkan dari sejarah tempatnya berdiri yakni Desa Batusesa. Batusesa sering pula disebut Watusesa sesuai dengan hukum Vandertuk yang mana fonem (W) memiliki arti yang sama dengan fonem (B),sehingga kata Batu sama artinya dengan kata Watu. Menurut cerita yang diwariskan secara turun temurun Desa Batusesa diyakini sebagai tempat pertemuan prajurit Dewa Indra dalam menumpas pasukan Mayadanawa. Di tempat inilah konon prajurit Dewa Indra melakukan kesepakatan dan pemasupatian semua senjata yang akan digunakan untuk menumpas pasukan Mayadanawa.
Pada masa lampau Desa Batusesa dikenal pula dengan nama Batu Satak, Batu Alas,atau Sila Jaya. Istilah Batu Satak terdiri dari kata Batu dan Satak. Batu mengandung makna berdiam diri (Warna,1978:78). Kata berdiam bentuk dasarnya adalah diam yang berarti tinggal atau bertempat tinggal. Kata satak mengandung arti dua ratus,ada kecenderungan bahwa kata satak juga berarti kesatuan. Pemakaiannya terjadi pada kata satak setelah mendapat sufik (an),menjadi kata satakan. Gramatikalnya jelas dalam konteks sintaksis’ngaduk-ngaduk satakan’ yang berarti mengacau (Warna,1978:503). Dengan demikian batu satak mengandung arti tempat untuk menyatukan diri atau menyatukan pandangan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kata batu alas sendiri berarti tempat hunian yang kondisinya masih berupa hutan. Sedangkan istilah Sila jaya berasal dari kata sila yang berarti tempat duduk dari batu (Semadi Astra,2000:454) dan jaya berarti bahagia,menang,kuasa (Prawiroatmojo,1957:180). Sehingga kata Sila Jaya berarti tempat tinggal yang dapat memberikan rasa bahagia atau kemenangan. Istilah Batusesa sendiri berasal dari kata batu dan wisesa yang berarti sakti. Nama batusesa ini tidak dapat dilepaskan dari sebuah cerita yang dikisahkan secara turun-temurun,dimana diceritakan pada abad XV ketika Dalem Baturenggong berkuasa I Gusti Ngurah Kubon Tubuh memunggut dua buah batu di Sela Jaya. Batu tersebut yang satu berwarna hitam berurat putih yang satu lagi berwarna putih berurat hitam. Lalu kedua batu tersebut dihaturkan kepada Dalem Baturenggong,setelah diterawang dengan kekuatan bathinnya batu itu mengeluarkan asap manca warna. Sebagai peringatan atas peristiwa tersebut tempat ditemukannya kedua batu itu kemudian dinamai batu wisesa atau Batusesa. Dalam versi lainnya disebutkan bahwa yang menemukan batu itu adalah dukuh belatung,hanya saja batu yang ditemukan bentuknya bulat dan makocok (di dalamnya berguncang). Jadi Pura Lawangan Agung sebagai Pintu Gerbang pura Besakih didirikan pada lokasi yang memiliki vibrasi kesucian yang sangat tinggi. Para Wikan dan Orang-orang suci pada masa lampau mendirikan tempat suci tidak sembarangan,tetapi memilih lokasi yang memiliki keistimewaan tertentu.
Menurut Sukardana,2006:114 fungsi Pura secara umum adalah :
a. Sebagai tempat suci sthana Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari manifestasinya.
b. Sebagai tempat umat Hindu untuk menghubungkan diri dan atau memuliakan serta memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dan segala manifestasiNya
c. Sebagai tempat persembahyangan bersama bagi umat sedharma khususnya ketika piodalan atau tibanya hari-hari raya.
d. Sebagai tempat untuk melaksanakan pendidikan dan atau meningkatkan pengetahuan,pendalaman,penghayatan,dan pengamalan Agama Hindu bagi umatnya.
e. Sebagai tempat untuk melaksanakan paruman guna membahas berbagai masalah tentang pura dan krama dadia penyungsung pura.
f. Sebagai tempat untuk melaksanakan sangkepan yaitu membayar iuran dan kewajiban lain dari Krama Dadia untuk kepentingan Pura dan lain-lain.
Fungsi Pura Lawangan Agung juga sesuai dengan fungsi pura yang disebutkan Suhardana,seperti layaknya fungsi pura-pura di Bali pada umumnya. Sekarang untuk fungsi butir d sedang ditingkatkan melalui dibentuknya kelompok Pesantian,dan diadakannya Dharma Wacana dan Dharma Tula secara berkala.
Selain itu terdapat pula tiga fungsi khusus pura yakni :
a. Fungsi Religius Magis yaitu fungsi yang terkait dengan pemujaan kepada Ista Dewata yang bersthana di Pura Lawangan Agung seperti kepada Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang pasupati, Bhatara Mahadewa, Bhatara Sakti Lawangan Agung ,Sang Bhuta Panandiswara, Bhatara Brahma, Wishnu, Iswara,Hyang Rambut Sedana,dsb.
b. Fungsi Didaktis yakni sebagai tempat implementasi ajaran-ajaran Agama melalui cara Para Bhakti maupun Apara Bhakti. Para Bhakti termanifestasi dalam bentuk upacara-upacara keagamaan yang menggunakan simbolisasi,sedangkan Para bhakti dengan menyumbangkan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman rohaninya dalam pemujaan kepada Tuhan.
c. Fungsi sosial budaya,yakni fungsi yang berkaitan dengan peran anggota masyarakat di sekitar Pura dalam kegiatan pembangunan Pura maupun pelaksanaan Upacara Yajna di Pura Lawangan Agung. Secara sosial dapat menumbuhkan nilai-nilai etika dalam bertingkah laku dan menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama. Sedangkan secara budaya Pura Lawangan Agung memberi dorongan yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai budaya masyarakat setempat,seperti kesenian misalnya.
2.3 Struktur Palinggih dan Keunikan Pura Lawangan Agung
Struktur Palinggih pura Lawangan Agung terdiri dari :
A. Balai Kulkul
Sesuai dengan namanya Bale Kulkul adalah tempat untuk menaruh KulKul. Kulkul adalah nama lain dari kentongan yang digunakan oleh orang Bali. Kulkul dipergunakan oleh masyarakat Bali atau warga banjar yang memiliki kulkul itu sebagai sarana untuk memberi tanda akan ada suatu kegiatan adat atau gotong royong. Ketika kulkul dibunyikan oleh kelian banjar atau yang ditunjuk oleh kelian, itu artinya warga atau anggota banjar harus datang ke tempat kegiatan dilaksanakan. Misalnya dalam acara gotong royong, rapat banjar, upacara adat, ada salah satu warga meninggal dunia, dan lainnya yang berkaitan dengan pengerahan warga banjar itu. Kulkul yang terdapat di pura Lawangan Agung tergolong ke dalam kulkul pura Pura yaitu kulkul yang ada di pura. Tapi tidak semua pura yang ada di Bali memiliki kulkul. Fungsinya sama untuk menandakan ada kegiatan misalnya ada odalan di pura tersebut. Bale kulkul dengan bentuknya yang menjulantinggi, perletakannya di tepi jalan serta mudah terlihat, mampu memberi tanda pada lingkungan.Tidak salah bila seseorang yang mencari lokasi suatu akan memakai bale kulkul sebagai arah penunjuknya. Jumlah atau irama pukulan kulkul mempunyai arti tersendiriyang berbeda-beda pada setiap daerah ataupun banjar sesuai dengan kesepakatan bersama..Bale kulkul merupakan hasil budaya arsitekturmasyarakat Bali yang tidak tercantumkan dalam Lontar Asta Kosala, Asta Kosali ataupun Asta Bumi.
Pengempon Pura yang tinggal di sekitar Pura Lawangan Agung merupakan komunitas kecil mempunyai peranan yang penting dalam hal upacara yang dilakukan di Pura Lawangan Agung maupun perawatan pura itu. Proses pengadaan dan pengarahan tenaga (anggota) memerlukan adanya sarana untuk pemanggilan mengintegrasikan anggota. Di dalam menghadapi suatu pekerjaan maupun kegiatan lain baik yang besar maupun yang kecil terutama yang menyangkut kepentingan pura, maka suatu isyarat (pertanda) kapan mulainya dan kapan berakhirnya adalah mutlak diperlukan. Sarana yang paling efektif dan zarnan dahulu sampai sekarang untuk memanggil ataupun mengumumkan sesuatu di Bali yaitu dengan alat kulkul (kentongan).
Kulkul ini terbuat dari kayu, yang mempunyai maksud agar pemikiran (dalam bahasa Bali disebut kayun ) para anggota benar-benar menyatu dalam alat komunikasi tradisional tersebut. Dengan demikian diharapkan agar pikiran umat menyatu untuk memuja Ida Bhatara Bhatari yang bersthana di Pura Lawangan Agung Kalau kentongan diamati sepintas, seolah-olah tidak ada artinya. Ia merupakan kayu yang dilubangi hampir sama dengan panjang dan besarnya kentongan..
Pada umumnya jumlah kentongan yang digantung pada Bale kulkul yang ada di Bali adalah dua buah. ini maksudnya untuk mencerminkan dan jenis kelamin anggota organisasi tersebut yaitu terdiri dan lelaki dan perempuan. Apabila kegiatan ini hanya melibatkan anggota perempuan, maka yang akan dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas perempuan. Demikian pula sebaliknya apabila kegiatan hanya melibatkan anggota laki-laki, maka kentongan yang dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas laki-laki. Tetapi kalau kegiatan melibatkan laki perempuan, maka kedua kentongan yang harus dibunyikan. Untuk membedakan antara kedua jenis kentongan menurut identitasnya dapat dilihat bahwa dari ukuran besar kecil, suara penabuhnya.
Peristiwa yang lain seperti seorang anggota keluarga baru lahir (utpeti). Apabila yang lahir adalah lelaki, maka yang dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas laki-laki, sebaliknya seandainya yang lahir perempuan, maka yang dibunyikan adalah kentongan beridentitas perempuan. Dalam peristiwa perkawinan, tergantung jenis kelamin yang pergi (keluar) maupun yang datang ke kelompok yang baru. Seandainya anggota kelompok mendatangkan mempelai perempuan dari kelompok luar, maka yang dibunyikan pertama adalah kentongan yang berstatus lelaki yang selanjutnya suaranya dipadukan silih berganti dengan suara kentongan yang perempuan. Di kelompok perempuan akan dibunyikan kentongan yang berstatus perempuan, yang selanjutnya diadukan secara silih berganti dengan kentongan yang berstatus laki-laki. Ini menandakan sebagai simbol penghormatan bahwa ada anggotanya yang pergi nikah. Kalau terjadi perkawinan endogami kelompok (banjar), maka yang akan dibunyikan pertama adalah kentongan yang berstatus lelaki kemudian dijalani dengan kentongan yang berstatus perempuan.
Berbeda dengan peristiwa alam seperti kebanjirari, kebakaran, gerhana, tidak dibuat aturan yang ketat untuk memulai membunyikannya. Demikian pula dalam peristiwa kecelakaan seperti kecurian, pembunuhan, atau hewan hilang tidak ada aturan kentongan yang mana harus dibunyikan pertama kali, diperhatikan adalah kode/simbol suaranya umumnya dengan bunyi dengan istilah kulkul bulus, namun demikian harapan anggota diusahakan membunyikan kentongan yang bisa menimbulkan suara yang lebih menjangkau ke tempat yang jauh.
Berbeda dengan kentongan yang digantungkan di setiap pura di Bali, aturan-aturan/cara dan penggunaannya tidak seketat pada kentongan yang dipajang di depan Bale Banjar, Bale Desa, kentongan yang digantung di sekitar pura biasanya dibunyikan pada saat ada upacara yang berlangsung di pura tersebut. Misalnya pada upacara odalan yang diselenggarakan setiap enam bulan sekali atau setiap satu tahun sekali. Makna simbol bunyi yang diungkap dalam peristiwa odalan adalah untuk memeriahkan suasana atau dengan kata lain tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai alat musik penyambutan.
Sebenarnya ada empat jenis kulkul yang dikenal masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusa. Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan apabila akan memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat lambat dengan dua nata yaitu tung.... tit.... tung.... tit.... tung.... tit dan seterusnya. Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram. Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak. Di kedua kegiatan inilah saat membunyikan Kulkul Manusa. Kulkul Manusa terbagi atas tiga yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling. Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali yang diyakini masyarakat Bali secara umum. Terutama kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali dianggap sebagai wujud nyata beryadnya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan.
Kulkul yang ada di Pura Lawangan Agung berjumlah dua (lanang-istri). Kulkul di Pura Lawangan Agung merupakan Kulkuk Dewa ketika dibunyikan pada saat upacara Dewa Yajna,Kulkuk Bhuta ketika dibunyikan pada saat pelaksanaan pecaruan,dan kulkul manusa ketika dibunyikan untuk mengumpulkan para pengempon pura. Tidak seperti lazimnya bale kulkul yang ada di Bali,atap bale kulkul yang ada di pura Lawangan Agung bertumpang atau tingkat dua. Ini merupakan salah satu keunikan Pura Lawangan Agung.
Kulkul ini juga diyakini sebagai sthana Sang Hyang Jati Iswara. Sang Hyang Iswara berkedudukan sebagai pelindung arah timur arah terbitnya matahari. Dewa sinar matahari itu disebut juga Dewi Savita atau Dewi Savitri. Pemujaan pada Sang Hyang Iswara bertujuan untuk mengarahkan diri agar mendapatkan sinar pencerahan hidup (jyotir). Jati Swara dikatakan pula sebagai suara yang sejati yakni Dharma atau kebenaran itu sendiri. Dharma diidentikkan dengan sinar yang menerangi dunia.
B. Gedong Linggih Sang Hyang Pasupati
Dalam Babad Pasek yang diterjemahkan I Gst Bagus Sugriwa diceritakan pada Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.
Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok, si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung, Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1, tanggek 1, tahun Caka 11.
Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli), rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air salodaka (air belerang) dari sana.
Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.
Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami masih dalam keadaan anak – anak belum dewasa, tentunya kami tidak tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.
Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.
Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.
Dari berbagai babad yang ditemui di Bali Sang Hyang Pasupati disebutkan menurunkan Sapta Hyang untuk berstana di berbagai gunung di Bali. Demikianlah Sang Hyang Pasupati menurunkan tujuh orang suci yang dipuja di berbagai Kahyangan Jagat di Bali. Sapta Hyang itu adalah Hyang Putra Jaya dipuja di Pura Besakih. Hyang Dewi Danu dipuja di Pura Batur. Hyang Tugu dipuja Andakasa, Hyang Tumuwuh di Batukaru, Hyang Gumawang di Beratan dan Hyang Manik Corong di Pejeng.
Dari Sapta Hyang inilah terus menurunkan orang-orang suci. Keturunan selanjutnya ada yang disebut Panca Pandita atau sering disebut juga Panca Tirtha yaitu lima orang suci. Panca Pandita tersebut adalah lima orang suci yang bersaudara. Lima orang suci itu adalah Mpu Geni Jaya, Mpu Sumeru, Mpu Gana, Mpu Beradah dan Mpu Kuturan.
Mpu Geni Jaya salah seorang dari Panca Tirtha ini sebagai leluhurnya atau disebut Wangsa Karta dari Parasemeton Pasek Sanak Sapta Resi di Bali. Wangsa Karta adalah sebagai tokoh yang diyakini sebagai pembentuk Gotra dari suatu kelompok keluarga atau klan. Mpu Beradah adalah leluhur Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra.
Wangsa Brahmana Siwa di Bali meyakini Dang Hyang Dwijendra inilah sebagai Wangsa Karta atau pembentuk Gotranya. Demikianlah berbagai kelompok keluarga di Bali meyakini para Resilah sebagai Wangsa Karta atau pembentuk Gotra. Sistem Wangsa atau Gotra ini bukanlah membeda-bedakan harkat dan martabat manusia sebagai sistem Kasta. Tetapi untuk menegakkan pemujaan dan penghormatan pada leluhur.
Adanya Sapta Hyang dan Panca Tirtha di Bali ini sebagai suatu penerapan sistem religi Hindu dalam sistem sosial umat Hindu di Bali yang dihubungkan dengan sistem pemujaan. Dengan adanya Sapta Hyang dan Panca Tirtha di Bali diharapkan sebagai sumber inspirasi yang memotivasi umat Hindu agar senantiasa mengarahkan segala aktivitas hidupnya mengikuti tradisi orang-orang suci. Inilah penerapan sistem religi Hindu ke dalam sistem kebudayaan.
Kedudukan Hyang Pasupati diceritakan Pula Dalam Versi lain yakni Purana Pura Luhur Pucak Kembar disalin dan diterjemahkan oleh I Ketut Sudarsana dan I Gusti Ngurah Oka Anom, Desa Adat Pacung, Baturiti, Tabanan menyebutkan :
Tersebutlah pada jaman dahulu saka 135 atau tahun 213 Masehi, Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Rajya, setelah yoganya mencapai tingkat kesempurnaan, makanya yoganya dilemparkan ke sebuah sungai yang berbatu, menyebabkan gempa yang sangat dahsyat secara terus menerus, kemudian dari batu yang ada di sungai lahirlah anak kecil kulitnya hitam legam, dan dari riak air yang mendidih lahir pula seorang bayi warna kulitnya putih. Menurut purana peristiwa tersebut terjadi di sungai Limpar dan menurut Kunalini Tattwa sungai Limpar adalah sungai Unda, disanalah bayi itu berdua hidup menikmati keindahan sungai dan semak belukarnya. Saking asyiknya bermain tidak dirasakan menyusup sampai ketengah semak belukar, yang dihuni oleh seekor Lembhu, seraya menyapa: Ya tuanku berdua, siapakah gerangan orang tuamu? Anak kecil itu lalu menjawab, maafkan aku Lembhu, aku tidak tahu dengan bapak dan ibuku, aku tidak tahu dari mana asal usulku, demikian jawabnya. Ki Lembhu akhirnya memberikan penjelasan, bahwasannya tuanku adalah putra Sanghyang Pasupati, tuanku bernama Dalem Kembar namun ijinkan saya memberikan nasehat kehadapan paduka berdua bahwasannya paduka berdua tidak seyoyanya memerintah bersama-sama, yang patut memegang tapuk pemerintahan adalah paduka Dalem Ireng, sebab paduka adalah penjelmaan Sanghyang Wisnu sudah sewajarnya memegang pemerintahan, demikian petuah Ki Lembhu. Kedua Dalem itu bertanya, dimanakah seharusnya saya memegang tapuk pemerintahan? Ki Lembhu memberikan penjelasan: sebab paduka lahir dari batu, apabila ada batu berwarna mengkilap saat diterpa sinar matahari, disanalah seharusnya paduka mendirikan pemerintahan, kemudian tempat itu berilah nama Batu Maklep, demikian hatur Ki Lembhu kehadapan Batu Ireng.
Sekarang diceritrakan Dalem Selem bersama Ki Lembhu berjalan menuju arah barat daya, dalam perjalanan Ki Lembu tak henti-hentinya memberikan petunjuk, bahwa pada saatnya nanti sudah sampai pada tujuan ayahnda akan hadir, dan tempat itu berilah nama Taro dan sesungguhnya saya ini adalah Ki Lembhu Nandini, setelah demikian bertutur kata secara kasat mata Ki Lembu tidak tampak lagi dari pandangan.
Setelah matahari tepat berada diatas khatulistiwa (tajeg surya) Dhalem Kembar secara tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup(sabda mantra) yang mengisyaratkan: Hai anakku Dhalem Sweta engkau tidak patut memegang pemerintahan, hanya engkau Dhalem Ireng yang seyogyanya memegang pemerintahan. Setelah Dhalem mendengar sabda yang demikian itu, lalu keduanya saling membuat perjanjian dengan berintikan yaitu: sebab aku dan engkau lahir menjadi saudara kembar, semoga tidak pernah berpisah dan semoga dikemudian hari bisa bertemu kembali, demikian perjanjian antara Dhalem Sweta dan Dhalem Ireng. Hal kian Dhalem Sweta mohon pamit dan melanjutkan perjalanan ke arah barat daya Sekarang kembali diceritrakan Dhalem Ireng, karena terlalu lama beliau memimpin pemerintahan, tiba-tiba beliau teringat dengan saudaranya Dhalem Sweta, kata lubuk hatinya, apakah gunanya aku memegang pemerintahan, bila tidak mengetahui keberadaan saudaraku, niscaya kekuasaan tidak ada artinya, demikian kata hati beliau, sehingga hasrat dalam pikirannya memutuskan untuk pergi mencari kakaknya Dhalem Sweta, sehingga beliau menuju arah barat.
Sekarang diceritrakan Dhalem Ireng dengan segera menuju desa Jimbaran, pada saat yang baik itu beliau bertemu dengan hamba sahaja (dayang) Dhalem Sweta, dimana dayang tersebut sedang mempersiapkan santapan yang akan disuguhkan kepada majikannya Dhalem Sweta, dengan melihat santapan tersebut tiada tertahan nafsunya untuk menikmati, maka dengan lahapnya Dhalem Ireng menyantap hidangan tersebut, terkejutlah si dayang yang bernama Ni Pring Gading, lalu bertanya: siapakah gerangan tuan, hamba tidak mengenal tuan sebelumnya, mengapa tuan berani memakan santapan yang akan kami hidangkan untuk tuan hamba Dhalem Sweta, mendengar kata Ni Pring Gading yang demikian itu, mendadak Dhalem Ireng berhenti menyantapnya, lalu beliau bertanya: Hai dayang dimanakah kini berada Dhalem Sweta, ya tuanku beliau kini berada di tempat pagagan (ladang padi gaga), demikian jawab si dayang, dengan segera Dhalem Ireng berjalan menuju tempat pagagan, namun Dhalem Sweta tidak pula dijumpai, sebab Dhalem Sweta sudah kembali menuju desa Jimbaran, dalam perjalanan pulang beliau sempat menyinggahi ladang orang-orang kampung, namun setelah tibanya Dhalem Sweta di istana, dengan sangat hormat dayang Ni Pring Gading humatur, maafkan tuanku Bhatara Dhalem Sweta, ijinkan hamba melaporkan kehadapan duli tuanku, bahwasanya ada seorang yang datang dengan bentuk tubuh besar, tinggi kekar rupanya bagaikan setan, orang tersebut telah berani lancang membuka langsung menyantap santapan tuanku raja, tiada tertahan takut hamba, dan lagi pula orang tersebut menanyakan paduka tuanku raja, mendengar hatur si dayang yang demikian itu, sungguh tiada tertahan murkanya Bhatara Dhalem Sweta dan dengan segera kembali lagi ketempat pagagan, hal kian sampailah pada tempat pagagan dan bertemu dengan Dhalem Ireng, karena saking emosionalnya pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari, perang tandingpun terjadi, sama-sama bersenjata keris, salik tusuk, namun keduanya tidak ada terlukai karena sama-sama kebal, karena tiada yang terkalahkan, akhirnya kedua belah pihak sama-sama kepayahan, dalam pada itu beliau berdua saling tegur sapa, Siapakah gerangan anda, aku bernama Dhalem Ireng, aku Dhalem Sweta, setelah bertegur sapa, barulah menyadari tentang asal usul dan pesan Ki Lembhu Sanghyang Pasupati yang masing-masing membawa senjata yaitu: Dhalem Sweta bersenjatakan Keris Kala Katenggeng, dan Dhalem Ireng bersenjatakan Keris Miring Agung, barulah beliau menyadari bahwa yang diajak perang tanding adalah saudaranya sendiri. Dhalem Ireng melanjutkan perjalanan menuju ke utara dan sampailah beliau di wilayah Bukit Asah, disanalah beliau beryoga semadi, dalam alam yoganya muncullah Dhalem Bali, Panca Wisnu, Panca Dewata, lalu terdengar sabdha mantra yang sayup-sayup bunyinya: Hai, anakku Dhalem Ireng, aku ini adalah ayahmu Sanghyang Pasupati, aku juga disebut Sanghyang Lingga Bhuwana, ayahndamu ini berstana di Pucak Candi Purusada, tempat ini aku beri nama Batu Pucak Kembar, semoga sepanjang jaman menjadi kahyangan, sebagai sarana umat manusia menghaturkan rasa syukur dan bhaktinya melakoni kehidupannya. Hai, anakku Dhalem Ireng aku juga berkahyangan di Gunung Agung (Tohlangkir). Apabila aku berkahyangan di Gunung Watukaru, aku disebut Hyang Jaya Netra, apabila aku berkahyangan di Bukit Jati aku disebut Hyang Siwa Pasupati, bila aku berkahyangan di Gunung Trate Bang (trate= tunjung) dan (Bang=merah), maka aku disebut Hyang Besa Warna, apabila aku berstana di Gunung Bratan aku disebut Hyang Danawa, demikianlah agar kamu mengingat selalu, lalu Dhalem Ireng bertanya: Maafkan paduka Bhatara, apakah sebabnya tempat ini disebut Batu Pucak Kembar? Demikian pertanyaan Dalem Ireng, kemudian dijawab oleh Paduka Hyang Lingga Bhuwana, yang berstana di Pucak Candi Purusada yang berlokasi di desa Kapal, hai anakku Dhalem Ireng, karena engkau dilahirkan kembar, disini telah terwujud suatu bukti saksi dua buah batu, itulah sebabnya dinamakan Batu Pucak Kembar (batu tersebut kini berada di Taman Cakra. Pent). Demikian konon sabdha Sanghyang Pasupati kepada anaknya Bhatara Dhalem Ireng, pada saat itu menunjukkan tahun saka 322 atau tahun 400 Masehi, mulainya keberadaan Batu Pucak Kembar atas wara nugraha Sanghyang Lingga Bhuwana/Hyang Pasupati kepada Dhalem Ireng, pada saat itu kembali Sanghyang Pasupati memberikan titah kepada anaknya Dhalem Ireng, anakku Dhalem Ireng, berangkatlah dengan segera ke Bukit Uluwatu, setelah kamu sampai disana berkemaslah untuk menyatukan pikiran dengan sarana beryoga semadhi, biar kamu cepat menyatu kehadapan Sang Pencipta, setelah mendengar petunjuk Sanghyang Pasupati yang demikian itu, lalu beliau bergegas pergi menuju Bukit Uluwatu, disana Dhalem Ireng berkonsentrasi menyatukan bayu sabdha idhep dengan yoga semadhi, tiada diceritakan yoganya berhasil, akhirnya Dhalem Ireng moksah menyatu kehadapan Sanghyang Acintya, Demikian Purana Batu Pucak Kembar, keberadaanya di Bukit Asah.
Walau terdapat versi yang berbeda tetapi keduanya menyebutkan maksud yang sama yakni kelahiran orang-orang suci yang merupakan leluhur orang Bali merupakan jasa besar Sang Hyang Pasupat. Hyang Pasupati juga merupakan penyelamat Nusa Bali dari kehancuran,karenanya Sang Hyang Pasupati juga dipuja di Pura Lawangan Agung sebagai juru selamat Pulau Bali dan pencipta seluruh makhluk.
C. Rong Tiga Linggih Hyang Pramesti Guru
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan men jadi ngawur.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya di Bali ada perayaan Pagerwesi untuk memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Dalam dunia pewayangan Jawa Hyang Pramesti Guru adalah pemuka para dewa yang memerintah khayangan, yaitu alam yang dihuni para dewa. Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa, Bhatara Guru dilukiskan bertangan empat, bertaring kecil, berleher biru, kakinya apus (semacam penyakit polio), dan hampir selalu mengendarai lembu Nandini.
Ayah Bhatara Guru bernama Sang Hyang Tunggal. Ibunya bernama Dewi Rekatawi. Suatu saat Dewi Rekatami melahirkan anak berujud telur bercahaya terang. Dengan kesaktian yang dimilikinya Hyang Tunggal mengubah ujud telur itu. Kulit relurnya berubah ujud menjadi Hyang Maha Punggung, ia dianggap anak sulung. Putih telurnya diubah menjadi Hyang Ismaya (Semar), ia dianggap anak kedua. Sedangkan kuning telurnya menjadi Hyang Manikmaya (Bhatara Guru), dianggap sebagai anak ketiga. Kedua kakaknya diberi tugas menjadi pamong di dunia, sedangkan Sang HyangManikmaya bertugas mengepalai para dewa di khayangan.
Bhatara Guru mempunyai sakti (istri) Dewi Uma, dan mempunyai beberapa anak. Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa): (1). Batara Sambu,(2). Batara Brahma,(3). Batara, Indra,(4). Batara Bayu,(5). Batara Wisnu,(6). Batara Ganesha,(7). Batara Kala,dan (8). Hanoman
D. Balai Gong
Balai Gong merupakan bangunan yang befungsi sebagai tempat menabuh gamelan (gong) pada pura-pura di Bali. Sarjana berkebangsaan Belanda, Dr. J.L.A. Brandes, mengatakan bahwa jauh sebelum datang pengaruh budaya India, bangsa Indonesia telah rnemiliki keterampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889), yakni: (1). wayang, (2). gamelan, (3). ilmu irama sanjak, (4). batik, (5). pengerjaan logam, (6). sistem mata uang sendiri, (7). ilmu teknologi pelayaran, (8). astronomi, (9). pertanian sawah, (10). birokrasi pemerintahan yang teratur.
Dengan begitu, bila pendapat Brandes tak keliru, kesepuluh butir keterampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa India. Ini benar berarti keberadaan Gong dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah meski tahun yang tepat sulit diketahui karena masyarakatnya belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak gamelan pada masa prasejarah.
Gong merupakan produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian; dan kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, meski wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antarbangsa terjadi kontak budaya, keseniannya pun ikut bersinggungan, sehingga dapat terjadi satu bangsa menyerap bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat.
Data-data tentang keberadaan Gong ditemukan pada sumber verbal, yakni sumber tertulis berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Pun, sumber ini berupa sumber piktorial, seperti relief yang dipahatkan pada bangunan candi, baik candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 hingga ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai ke-15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur, kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh-tabehan” (dalam bahasa Jawa Baru “tabuh-tabuhan” atau “tetabuhan”, berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul).
Pada beberapa bagian dinding Candi Borobudur dapat dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada Candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada Candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu, relief gong besar dijumpai di Candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di Candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras terdapat relief gambang, reyong, serta simbal. Pada Candi Sukuh (abad ke-15 M) terukir relief bendhe dan terompet.
Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk, bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985: 42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti Natya Sastra, seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan, kelompok musik di India disebut “vaditra” yang dikelompokkan menjadi lima kelas, yakni: (1). tata (instrumen musik gesek), (2). begat (instrumen musik petik), (3). sushira (instrumen musik tiup), (4). dhola (kendang), (5). ghana (instrumen musik pukul).
Pengelompokan yang lain adalah: (1). avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul,(2). ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri,(3). sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup, (4)tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya”, dibakukan dengan menggunakan pola “tala” yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban). Dalam Gong yang terdapat di Bali mencakup kepada semua jenis alat music yang dikelompokkan di atas dan pada upacara-upacara keagamaan ditujukan sebagai media pemujaan kepada Tuhan.
E. Candi Pamedal
Candi Pamedal merupakan dua buah candi yang berfungsi sebagai Pintu gerbang untuk masuk ke Pura. Filosofinya ini merupakan perbatasan antara pemikiran manusia yang masih terikat oleh objek-objek inderawi dengan pemikiran-pemikiran yang diinsyafi ajaran-ajaran Ketuhanan. Umat ketika memasuki pamedal harus mengarahkan pikirannya kepada Tuhan dan meninggalkan nafsu-nafsu badaniah di luar areal pura.
F. Apit Lawang Linggih Bhuta Panandiswara
Bhuta Panandiswara atau Lembu Nandini merupakan abdi bagi Sanghyang Manikmaya (Shiwa). Dan tak seorangpun diperkenankan mengendarai Lembu Nandini selain Sanghyang Manikmaya. Kemanapun Sanghyang Manaikmaya pergi memerlukan kendaraan, maka Lembu Nandinilah yang menjadi wahana beliau. Bahkan begitu suci dan sakralnya kendaraan Sanghyang Manikmaya ini, pada saat Prabu Pandu Dewanata menuruti rengekan istrinya, Dewi Madrim yang ingin berkeliling melihat negeri Hastinapura dari angkasa, maka imbalan yang harus ditebus oleh Prabu Pandudewanata karena ingin meminjam Lembu Nandini ini, adalah nyawanya. Maka setelah selesai berkeliling dengan Dewi Madrim mengendarai Lembu Nandini, Prabu Pandudewanatapun meninggal. Hal itu karena Prabu Pandu dewanata telah dinilai lancang, dimana seorang ksatria di arcapada, telah lancang meminjam kendaraan dewa.

Dari berbagai sumber dikatakan bahwa Bhuta Panandiswara merupakan Putra kedua dari keluarga Prabhu Patanam, tumbuh menjadi seorang yang sakti, paling sakti diantara saudara-saudaranya. Dan karena kemampuannya yang tak ada tandiingannya, diapun tumbuh menjadi orang yang cenderung tak terkalahkan, sehingga seluruh rakyat dinegara itupun menjadi hormat dan memuja mujanya bagai seorang dewa. Hal tersebut rupanya membuat Sanghyang Manikmaya menjadi tidak suka. Sebagai raja dari para dewa yang menguasai seluruh alam mayapada, madyapada dan arcapada, kesaktian Nandi yang berakibat dipuja puja bagai seorang dewa itu, membuatnya turun dan mendatangi kerajaan tersebut. Maka, tanpa basa basi, Nandi, putra kedua dari Prabu Patanam tersebut ditantangnya mengadu ilmu. Namun betapa kesaktian Nandi luar biasa, kali ini musuhnya adalah rajanya para dewa, maka sudah sewajarnya Nandi sebagai makhluk, dapat ditkalahkan oleh Sanghyang Manikmaya, dan kemudian dibawanya Nandi ke Suralaya, kerajaaan Sanghyang Manikmaya dijadikan abdi dan kendaraan bagi Sanaghyang Manikmaya, yang kemudian dikenal dengan nama Lembu Nandini. Secara ikonografis pelinggih Bhuta panandiswara menunjukkan corak Siwaistik dari Pura Lawangan Agung.

G. Palinggih Pamangkalan Agung
Palinggih Pamangkalan Agung ini disebutkan sebagai Sthana Ida Bhatara Lingsir Dasar Bhuana,yakni yang berperan sebagai dasar/pangkalnya dunia. Dunia beseta isinya hanya akan mencapai kedamaian dan kemakmuran apabila memiliki dasar yang kuat. Maka umat Hindu tidak hanya berpikir parsial dari segi permukaan dunia saja. Para Orang-orang suci pada masa lampau telah memikirkan bahwa dasar alam semesta merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan,dasar dunia harus dikutakan dengan menghaturkan persembahan kepada Ista Dewata yang bersthana disana.
H. Sanggar Agung
Sanggar Agung ini disebutkan sebagai palinggih Ida Sang Hyang Widhi atau Hyang Tunggal. Dalam idiom masyarakat Bali sering disebut ‘ane abesik negebekin gumi’. Jadi Hyang Tunggal merupakan perwujudan Tuhan yang satu tetapi meresapi setiap ciptaan. Merupakan wujud Tuhan yang Transcendent,dalam dunia sains dijelaskan dengan teori fisika kuantum. Yakni dalam suatu benda dinyatakan ada energy tertentu tetapi sangat sulit untuk dibuktikan keberadaannya.
J. Pelinggih Dasar
Pelinggih Dasar ini merupakan Sthana Hyang Prthivi dan Bhatara Rambut Sedana. Hyang Prthivi merupakan perwujudan kesuburan yakni kesuburan jasmani maupun rohani. Prthivi juga adalah simbolisasi tanah air,memuja Prthivi dalam kehidupan bernegara dilakukan dengan mencintai dan mengabdikan diri kepada tanah air. Pelinggih Prthivi di Pura Lawangan Agung ini setidaknya menyiratkan beberapa maksud diantaranya adalah permohonan para pengempon pura agar diberi kesuburan karena dahulu sebagian besar berprofesi sebagai petani,selain itu juga merupakan wujud kecintaan kepada tanah airnya.
Hyang Rambut Sedana adalah permaisuri Maha Wisnu dan karena pernikahan ini ia juga disebut sebagai Maha Lakshmi dan Ratu Satyug. Dia juga menikah dengan Sri Rama dalam inkarnasi sebagai Sita dan Krisna sebagai Rukmini dan Radha. Beliaui juga digambarkan sebagai Devi dalam bentuk yang universal,sebagai pembunuh Mahishasura Iblis. Secara ikonografis Beliau digambarkan sebagai serangkaian delapan belas bantalan bersenjata manik-manik, kapak perang, labirin, panah, petir, teratai, air panci, gada, tombak, busur, pedang, perisai, bel, Keong, anggur cangkir, jerat, trisula dan Sudarsana. Dalam bentuk ini Hyang ramnut Sedana disebut sebagai Dasa Ashta Bhuja Mahalakshmi. Dia adalah perwujudan dari energi yang unggul feminin Tuhan yang memurnikan spiritual, memberdayakan dan uplifts individu. Dia juga personifikasi dari energi spiritual dalam diri kita dan alam semesta yang disebut Kundalini.
Sebutan lain beliau adalah Lakshmi yang berarti dewi kekayaan / keberuntungan kecantikan, baik dan keberuntungan. Dia biasanya digambarkan sebagai duduk atau berdiri di atas seratus kelopak teratai dalam lautan susu yang merupakan simbol kesucian, perdamaian dan kemakmuran. Empat lengan Beliau menandakan Kemurnian, Kemakmuran, Kesempurnaan dan Kebebasan dari perbudakan dan koin emas terus mengalir keluar dari tangan kirinya mewakili kemakmuran materi yang tak ada habisnya. Keempat gajah terlihat di sekitarnya menunjukkan empat arah dan kesetiaan. Tangan kanannya menunjukkan berkat dan jaminan keselamatan untuk umatNya. Di Bali Hyang Rambut Sedana dipuja pada Buda Cemeng Klawu atau Buda Wage Klawu yang jatuh setiap hari Rabu pada wuku Klawu di penanggalan Bali. Linggih rambut sedana pada pura Lawangan Agung merupakan indikasi usur Vaisnawa. Secara keseluruhan Pelinggih Dasar menggambarkan mata pencaharian penduduk pada masa itu yakni sebagai petani dan pedagang.

K. Gedong Linggih Bhatara Sakti Lawangan Agung

Bhatara Sakti Lawangan Agung diyakini sebagai Dewa Penguasa Pintu Gerbang niskala untuk memasuki kawasan suci Pura Besakih. Seyogianya umat yang hendak sembahyang ke Pura Besakih meminta restu dan berkat kepada Bhatara Sakti Lawangan Agung. Tradisi seperti ini merupakan budaya yang umum di Bali,seperti halnya pada Puri Klungkung juga ada keyakinan kepada Bhatara Pamedal Agung yang bersthana pada Gelung (pintu gerbang Puri). Atau pada masing-masing rumah,pada bagian pintu gerbang dipercaya terdapat Dewa Penjaga yang menjaga penghuni rumah dari mara bahaya.

L. Anglurah

Anglurah merupakan Linggih Sang Catur Sanak atau Kanda Pat. Kanda pat atau sang catur sanak mempunyai tugas menjaga dan menuntun umat manusia sesuai dengan maksud dan tujuan manusia itu sendiri. Kanda Pat telah ada pada manusia sejak dalam kandungan dan berwujud: (1). Babu abera,(2). Babu sugian,(3). Babu lembana,(4). Babu kekered, (5). Yang terakhir adalah bayi itui sendiri yg bernama I Lega Prana. Setelah sembilan bulan dalam kandungan sang ibu maka lahirlah bayi itu ke dunia ( bhuana agung ) diikuti oleh sang catur sanak yakni Yeh nyom, Getih, Banah (lamas), Ari-ari. Sejak saat itu berubah pulalah nama kanda pat sejeroning garba menjadi kanda pat rare. Namanya pun berubah : (1) I Jelahir,(2). I selabir,(3). I Mekahir,(4). I Selahir,(5). Yg kelima bayi itu sendiri yg sekarang bernama I Tutur Menget.

Kelanjutan proses rare atau si bayi akan meningkat menjadi anak-anak, namun sejak mulai bisa merangkak dan mampu berbicara memanggil Ayah-Ibunya maka sang catur sanak pun mengalami perubahan lagi. Meninggalkan tubuh sang anak pergi ke empat penjuru dunia. Ke timur, ke selatan, ke barat, ke utara. Masing-masing mereka itu menjadi Daitya ( Raksasa ). Perubahan wujud dari kanda pat rare manjadi Kanda Pat Bhuta, yaitu : (1). I Jelahir ke timur berubah menjadi Daitya/ Bhuta Anggapati,(2). I Selabir ke selatan berubah menjadi Daitya/ Bhuta Mrajapati,(3). I Mokahir ke barat berubah menjadi Daitya/ Bhuta Banaspati,(4). I Selahir ke utara berubah menjadi Daitya/ Bhuta Banaspati Raja,(5). Yang kelima atau I Tutur Menget yg berada pada diri sendiri berubah menjadi Sang Kala Mretyu atau sang Angkusprana Kanda pat ini mempunya sifat yang sangat sesuai dengan namanya Bhuta yg di artikan bodoh atau awidya. Jadi perilaku orang yg bodoh ( awidya ) sangat mirip dengan perilaku anak-anak yang mau menang sendiri, dan sangat menonjol sifat egoisme atau keakuannya.

Dari Kanda Pat Bhuta yg bersifat awidya ( bodoh ) menuju Kanda Pat Sari yang mempunyai sifat widya (cerdas). Pada tahapan ini Sang Catur Sanak berwujud : (1). I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, (2) I Ratu Wayan Tebeng,(3) I Ratu Made Jelawung,(4). I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, (5). I Ratu Ketut Petung.
Setelah meninggal Sang Catur Sanak menjelma menjadi Kanda Pat Atma : (1) Suratman,(2) Jigormanik,(3) Mahakala, (4) Dorakala. Apabila Moksha berubah menjadi kanda Pat Dewa : (1) Hyang Siwa, (2). Hyang Sadasiwa, (3). Hyang
(4). Hyang Suniasiwa. Catur Sanak merupakan filosofi dari hakikat manusia yang berasal dari Brahman dan nantinya harus menyatu pula dengan Brahman.
M. Padma Capah
Padma capah merupakan bentuk Padmasana yang tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan) atau Hyang Brahma sebagai pencipta alam semesta. Dalam Lontar “Dwijendra Tattwa” disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, Beliau datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali. Diperkirakan pelinggih Padma Capah ini baru dibangun di Pura Lawangan Agung setelah kedatangan Dang Hyang Nirartha sebagai bentuk pengembangan pelinggih.
N. Pasamuhan
Bale Pasamuhan, secara fisik adalah sebuah bangunan bale-bale berpilar enam yang berada di pojok dalam pura. Menurut Ida Pedanda Istri Karang Upacara di bale pasamuan adalah simbol cinta kasih para dewa yang turun dalam berbagai wujud fisiknya.
Menurut I Ketut Wiana, Bale Pasamuhan menunjukkan hubungan manusia dan Tuhan. Ini simbol kewajiban manusia untuk berhubungan harmonis dan setara. Misalnya simbol Ardhanarisvara (bentuk hermaprodit dari Siwa) yang memperlihatkan keragaman gender. Salah satu prosesi di Bale Pasamuan adalah “majejiwa” atau dialog ritual antara lain tentang Dewa Smara- dengan saktinya Dewi Ratih, simbol penyatuan jiwa dua manusia. Ditandai sebuah kain putih bergambar Smara-Ratih terpasang di dinding depan Bale Pasamuan. Juga simbol kekayaan alam, seperti bahan pangan bermakna kemakmuran atau kesuburan. Bale Pasamuhan juga merupakan simbolisasi bertemunya Bhakti dan Asih. Artinya bhakti umat manusia yang mempersembahkan bangunan palinggih (pura-pura) dengan tata upacaranya kehadapan Hyang Widhi, lalu Hyang Widhi dengan welas asihnya, menganugerahkan ciptaan mulia seperti kekayaan alam dan lainnya,disimbolkan sebagai Smara-Ratih itu.
O. Bale Pegat
Bale Pegat merupakan Linggih Bhatara Langlang Bhuana yakni simbolisasi Tuhan yang ada di seluruh dunia,ada dimana-mana. Bale pegat juga merupakan simbolisasi tujuan hidup tertinggi yakni moksha,lepasnya Atman dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dalam Upanishad dikatakan moksha adalah persatuan jiwa (roh) dengan Tuhan (Brahman) ibarat sungai yang mengalir ke laut dan kemudian bersatu dengan laut. Upanishad mengatakan : "Temukan kebahagiaan pada kelepasan" (Isa Upanishad); "Tuhan yang Esa yang tak terbatas adalah sumber kebahagiaan (yang tak terbatas)". (Chandogya Upa). Moksha atau kebebasan adalah tinggal dalam wujud-Nya yang maha abadi. Karenaya orang-orang suci yang sudah bisa melepaskan diri dari ikatan duaniawi disebut ‘Sang Meraga Putus’.
Seperti yang telah diuraikan di atas keunikan pada Pura Lawangan Agung terletak pada bentuk Bale Kulkulnya. Bale kulkul di Bali umumnya hanya beratap satu ,namun tidak demikian halnya pada Bale kulkul Pura Lawangan Agung dimana atapnya terdiri dari dua tumpang (atap),sehingga menyerupai bentuk meru tumpang dua. Terdapat sebuah tangga yang terbuat dari bambu untuk naik ke atas,dimana kulkul ditempatkan. Bila bale kulkul di Bali umumnya di bawahnya berlantai bebaturan yang agak ditinggikan sehingga posisi Bale Kulkul menjadi seperti menara. Tidak demikian halnya dengan Bale kulkul Pura Lawangan Agung,di bawahnya terdapat lantai yang tidak terlalu tinggi menyerupai bangunan-bangunan rumah,di atasnya terdapat dua buah bale bertiang empat yang agak ditinggikan mengapit tangga Bale kulkul tersebut. Seperti yang diketahui pada Pura Lawangan Agung tidak terdapat meru,penulis disini bisa berspekulasi bahwa Bale Kulkul bertingkat dua tersebut selain difungsikan sebagai Bale Kulkul juga berfungsi sebagai Meru. Di Bali Meru bertumpang digunakan sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar Bhuwana-Kosa). Jadi setelah kedatangan Mpu Kuturan pada abad ke-11 yang mencetuskan konsep meru dengan atap bertumpang 3 (tiga) atau Danghyang Nirartha pada abad ke-14 yang membawa konsep meru bertumpang: 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Secara arsitektur konsep itu diserap pada Pura Lawangan Agung tidak pada bentuknya yang utuh yakni meru didirikan dengan fungsi ganda. Secara numerology angka 2 adalah hasil dari penjumlahan 1+1. Dalam aksara Bali maupun latin angka sebelas dinyatakan dengan dua buah angka 1. Jadi mungkin saja atap 2 pada Bale Kulkul adalah penyederhanaan dari meru tumpang 11 yang merupakan tingkatan meru tertinggi di Bali. Bale kulkul atap 2 ini menurut hemat penulismerupakan wujud penyederhanaan-penyederhanaan dari konsep-konsep tattva.